DIKARENAKeN TULISAN YG DIBUAT TEMEN ANE BAGUS, JADI CERITA TTG LAWU AKHIR 2011 ADALAH TULISAN BELIAU,, CHECK IT
Bismillahirrohmanirrohim...
Bis
Solo-Semarang, perjalanan Pulang.
“.....Lestari
alamku, lestari desaku, dimana Tuhanku menitipkan aku, nyanyi bocah bocah
dikala purnama, nyanyikan pujaan untuk nusa. Damai saudaraku, suburlah bumiku,
kuingat ibuku dongengkan cerita, kisah tentang jaya nusantara lama, tentram
karta raharja disana....”
Lantunan
lagu balada yang diputar oleh sopir bis Solo-Semarang ini meningkahi
perjalananku pulang ke Semarang. Seolah bait demi baitnya mengajakku
berpikir-setelah semalaman puas terlantar di terminal-bahwa memang tanah ini
terlampau indah untuk tidak dicintai, dan terlampau bernilai untuk disia
siakan....
Perjalanku
kali ini diawali dengan sejuta asa tentang kembali kepada pelukan ibu pertiwi,
tentang bagaimana kau kembali mencintai negeri, bagaimana kau kembali merengkuh
asa akan negeri ini. maka aku memutuskan untuk bergabung dengan rombongan kecil
tapi santai dan berisi 4 orang aneh yang ingin pergi ke gunung Lawu. Menikmati
keindahan alam, dan guratan maha Indah dari Sang Pemilik Jagad Raya.
Siang
itu, setelah usai kami berempat berkemas, kami bertolak dari tembalang,
Semarang, menuju Solo. menaiki bus ekonomi, berdesakan, maklum saat itu adalah
menjelang tahun baru. Kami singgah sejenak di salatiga untuk solat jum’at
sebelum kemudian berlanjut ke solo. berempat kami tertawa lepas, menikmati
perjalanan dan menikmati setiap desakan desakan penumpang, menikmati lagu lagu
pengamen yang memaksa naik di kepadatan penumpang.
Tirtonadi,
disini kami kemudian bertemu rombongan lain dari Jogja, yang juga ingin mendaki
gunung Lawu. Aku pun makin semangat melihat pemuda pemuda cerah yang akan
mendaki juga.
Sampailah
kami berempat di tawangmangu. Segera saja kami mencari masjid untuk solat
Ashar, menghadap Yang Maha Penyayang, yang menitipkan negeri seindah ini pada
kami.
Ah,
ternyata perutku lapar juga. Seusai solat kami berempat menyusuri pasar
tawangmangu, mencari makanan yang bisa menahan garangnya enzim enzim perutku
yang mulai memberontak. Ketemulah dengan soto dan nasi kare. Semangkuk soto
dibandrol harga Rp 3000 saja, sedangkan kare seharga Rp 3500. Wah, sudah murah,
enak! Tandas sudah dua mangkuk nasi kare masuk ke dalam perutku. Hahahaha.
Perjalananpun
dilanjutkan menumpang colt diesel. Jalan makin menanjak dengan pemandangan yang
sungguh luar biasa, di kanan kiri barisan kebun teh dan pohon cemara berwarna
hijau tua. Rumah rumah penduduk yang bersusun susun berjauhan. Sedangkan di
atas bukit yang jauh kabut mulai berarak turun, putih bersih, seputih hati penduduk
desa yang berkemul dengan sarung di sepanjang jalan.
Maghrib
menjelang ketika kami tiba di posko pendakian cemoro sewu, magetan. Suhu dingin
mulai menusuk kulit. Angin bertiup cukup kencang. Memaksa kami memakai jaket
tebal untuk melawan suhu dingin. Kembali kami terdampar di masjid, singgah dan
kembali tunduk dihadapan-Nya.
Benar
kata temanku, bahwa di gunung, orang bisa bercerita apapun, tentang dirinya,
tentang segala keluh kesahnya. Bahwa manusia, dibawah kegagahan alam, akan
merasa kerdil dan kemudian ceritapun mengalir. Sebelum tidur, ada sesi curhat
dari temenku. Hehehehehe. Didalam warung yang hangat, ditemani secangkir kopi
hitam kami berbicara dan bercerita. Ceritanya tentang apa? Rahasia dong,
kekekekekekek.
Kami
putuskan bahwa kami akan tidur di pos polisi. Sebuah tenda darurat yang menjadi
pos polisi. Rupanya Alloh menurunkan hujan yang sangat lebat malam itu, kamipun
kemudian hijrah kedalam warung karena tenda tersebut tidak kuasa menahan
terpaan angin dan hujan. Didalam warung banyak pendaki nguntel kedinginan. suhu udara makin
dingin.
Pagi
menjelang... subuh kali ini terasa berbeda. Di kaki gunung kami solat, ah...
damainya hati ini. abis sarapan, kamipun berkemas dan memulai pendakian. Di
depan pintu gerbang pendakian, aku sejenak melepas pandanganku ke atas, ke
puncak gunung lawu yang tertutup kabut tebal, namun masih perkasa dan
berwibawa. Lalu kamipun berdoa, tertunduk khusyu’,
Ya
Alloh, Engkaulah yang memberi kehidupan. Biarlah jiwaku ini kupasrahkan
kepada-Mu, ingin kutumpahkan semuanya kepada-Mu, menyusuri jalan panjang ini.
ya Alloh, berilah kami keselamatan.
Disinilah
manusia betul betul merasa kerdil, kesombongan pasti runtuh, orang yang berkata
bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan akan gentar gemetar, jatuh terserak. Kesadaran
pun tumbuh, bahwa memang ternyata adalah Dia diatas segalanya.
Pendakian
pun dimulai, setapak demi setapak, selangkah demi selangkah. Sesekali kami
tertawa riang, bercanda, sesekali nafas kami tertahan, kemudian mengucap pujian
untuk Sang Pencipta, dan bersyukur bahwa kami masih bisa menikmati keindahan
alam Nusantara. Jalan cemorosewu yang sudah berbatu sedikit memudahkan kami
dalam melangkah. Sesekali pula kami beristirahat dan mengumpulkan tenaga.
Sayang,
di pos II salah satu teman kami tidak bisa melanjutkan perjalanan. Fisiknya
belum terbiasa akan udara dingin dan tipis. Namun rombongan kami bertambah tiga
orang dari solo. kami sekarang berenam melanjutkan perjalanan. Kawan kami
terpaksa kami tinggal di pos II.
Jalan
yang kami lalui makin menanjak dan curam. Memang jika lewat cemorosewu jalan
lebih curam dan terjal dibandingkan dengan lewat cemorokandang yang lebih
landai. Namun perjalanan harus diteruskan. Setapak demi setapak. Itulah yang
selalu kuulang. Kami kadang berteriak teriak bagai orang gila bersahut sahutan,
yang tentu saja tidak bisa kami lakukan di tengah kota.
Meskipun
tubuh mulai lelah, nafas mulai terasa berat. Aku tetap melangkah, satu satu.
Janganlah engkau lihat terlampau lama jalan yang sangat terjal diatasmu. Lihat
saja jalan didepanmu yang hanya selangkah, selangkah, selangkah. Itulah yang
membuatku tetap semangat dalam mendaki, dan mungkin juga dalam menjalani hidup. Takkan lari gunung dikejar, namun jika kamu tidak
melangkah, kapan kamu akan sampai di puncak?
Sampai
di pos 4 hujan mulai turun lagi dengan cukup lebat. Kembali kami merapatkan
mantel hujan kami agar badan kami aman dari terpaan air. Alhamdulillah, jalan
mulai berubah landai setelah sebelumnya benar benar menguras nafas dan tenaga.
Kumandang adzan maghrib yang diteriakkan seorang pendaki menyambut kami di pos
lima. Pos tertinggi sebelum puncak. Alhamdulillah. Segera saja kami mencari
tempat untuk berteduh. Sebuah warung yang berdiri di pos lima menjadi tujuan
aku dan seorang teman. Sedangkan empat orang lainnya mendirikan tenda yang
memang hanya muat untuk 4 orang. Didalam warung yang hangat kami kemudian
melaksanakan solat maghrib dan isya. Bersujud dan bersyukur diberikan
keselamatan sampai di pos 5. Setelah makan malam kami pun terlelap kelelahan...
Aku terkejut
mendengar adzan subuh berkumandang di atas gunung. Para pendaki kemudian
berdiri bersaf saf menghadap Yang Maha Perkasa. Akupun larut dalam suasana
khusyu sholat subuh indah di puncak gunung tersebut. Subhanalloh..
Setelah
subuh usai, kami segera bersiap menuju puncak lawu. Mengejar pemandangan
matahari terbit. Hadiah terindah bagi setiap pendaki gunung. Barang barang kami
tinggal di tenda. Berbekal senter dan air kami kemudian berjalan menuju puncak.
Hari
beranjak terang pertanda sang surya makin meninggi. Jalan ternyata cukup landai
sehingga memudahkan langkah kaki kami. Pemandangan yang disuguhkan sungguh
membuatku berulang kali menahan nafas, dan tek henti hentinya memuji
kebesaran-Nya. Betapa tidak, jalan yang kami lalui disampingnya adalah jurang
yang dalam, didepan kami ada Jalan setapak yang membelah padang rumput
menghampar luas, bunga bunga indah yang masih malu malu untuk mekar, berkas
cahaya mentari yang mulai mengintip di balik awan yang menghasilkan baris baris
sinar yang sungguh menakjubkan. Ah, alangkah indahnya negriku ini! kupejamkan
mata sejenak, dan menghirup dalam dalam udara bumi pertiwi ini...
Akhirnya,
akhirnya, alhamdulillah... kami sampai ke puncak lawu. Hargo Dumilah, 3265 Mdpl.Subhanalloh.
Sungguh sebuah pemandangan yang tidak terkira. Seindah inikah alamku yang
kalian sia siakan? Bukankah Tuhan telah menitipkan keluarbiasaan ini kepada
kita? Betapa anehnya orang yang tidak mencintai tanah ini, yang dititipkan
oleh-Mu. Hamparan awan putih yang ada di bawah
kaki kami bagaikan permadani, ah, seolah kau bisa berlarian diatasnya. Barisan
gunung di pulau jawa yang berjajar rapi, semeru yang terlihat jauh disana,
semakin memperkuat posisimu sebagai Ring Of Fire. Belum lagi ngarai ngarai
terjal kehijauan, luasnya padang rumput berwarna hijau muda, matahari
yang mulai menampakkan dirinya dari balik luasnya gugusan awan putih, dan merah
putih, sang dwiwarna yang tegak berkibar di puncak Hargodumilah. Guratan
kekuasaan-Mu betul betul kurasakan, dan sungguh aneh orang yang tidak mempercayai
keberadaan-Mu!
Puas
kami menikmati pemandangan tersebut. Kamipun bergegas turun setelah sebelumnya
mampir ke tempat yang katanya pamoksaan Prabu Brawijaya. Kembali ke tenda,
mengisi perut. Dan turun dengan ngos ngosan mengejar teman kami di pos II.
Meskipun pada akhirnya kami harus terlantar di terminal Tirtonadi karena
kehabisan bis, perjalanan ini sungguh luar biasa, what a long journey!
Perjalanan ini memberikanku penghayatan lebih mendalam kepada mencintai tanah
airku, dan mensyukuri nikmat Tuhanku. Menyadarkanku bahwa Indonesia, bangsaku,
sebegimanapun ruwet dan kusutnya, adalah tanah mutiara tempatku dilahirkan. Ia
adalah tangis tawaku, putih tulangku, merah darahku, dan indung nasibku.
Indonesia, ini aku, akan kuteriakkan namamu, sebagaimana namamu diteriakkan
oleh para pendahuluku. Tuhanku, inilah hamba-Mu yang lemah, janganlah engkau
lepaskan penjagaan-Mu terhadapku. Dan biarkanlah aku tetap menjadi hamba-Mu
yang senantiasa belajar akan arti kehidupan ini, agar aku tidak lagi tersesat dalam
jalan-Mu ya Alloh..
Dan
akupun tertidur kembali di bus malam jurusan Solo-Semarang.
catatan lengkap liat di profil : http://www.facebook.com/abumuhammadwahyusatrio/notes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar