Selasa, 05 Juni 2012

Salatiga adalah titik nol



   Salatiga, kampung halaman, adalah titik nol. Segalanya berawal dari sini. Dari lahir sampe SMA ane tinggal di sini. Kota yang damai, sejuk, kecil tapi lengkap, di bawah naungan ‘Meru’ (gunung) dan ‘Babu’ (wanita) alias Merbabu setinggi 3 ribu meter sekian di atas permukaan laut.

Merbabu dari Salatiga 2011

   Hanya memiliki 4 kecamatan, kecil tapi begitu istimewa. Kota ini istimewa sejak zaman Belanda dan bahkan jauh sebelum itu.Dikisahkan di sebuah prasasti bernama “Plumpungan” terletak di desa Plompongan, dulu kala pada zaman Mataram Hindu tahun 750 Masehi, kerajaan mencari kawasan pemukiman yang baru. Ditemukanlah daerah dibawah gunung dan dikelilingi gunung-kecil, tetapi tidak terdapat sungai besar yang cocok untuk perdagangan, dan lahan datar yang luas untuk pertanian. Maka ditetapkanlah wilayah baru tersebut untuk untuk kepentingan agama. Wilayah perdikan sebagai tempat pendidikan untuk menjadi seorang Bhiksuka atau Brahmana dilakukan di wilayah ini.


prasasti plumpungan

       Berdasarkan prasasti tersebut hari jadi Kota Salatiga dibakukan tanggal 24 Juli Tahun 750 Masehi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga maka Salatiga sudah berumur seribut tahun lebih. Sudah sejak 750 Masehi, berdasarkan prasasti tersebut wilayah Salatiga menjadi wilayah desa Perdikan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan upeti kepada kerajaan, karena jasanya kepada kerajaan. Pada jaman Belanda Salatiga adalah bekas stadsgemeente atau kota praja yang memiliki pemerintahan dan administrasi sendiri.


Alun-alun tempoe doeleo
  
    Setelah kemerdekaan Salatiga berada di bawah naungan Kabupaten Semarang. Setelah itu menjadi Kodya sendiri dan sekarang bernama “kota Salatiga”. Julukannya “Salatiga Hati Beriman”<< julukan atau slogan kota dan kabupaten seluruh Indonesia era Orde Baru, seperti Kabupaten Semarang ‘Serasi’ ; Boyolali ‘Tersenyum’. Penamaan Salatiga sendiri berasal dari Ki Ageng Pandanaran yang suatu ketika beliau melewati wilayah ini bersama istrinya. Sebelum berangkat, ki Ageng melarang istrinya membawa perhiasan tetapi istrinya diam-diam membawanya. Di tengah jalan, beliau dan istrinya dihadang perampok dan perhiasan yang dibawa istri ki Ageng terburai. Ki Ageng yang marah dan mengalahkan perampok.

Merbabu tempeo doeloe
    Musibah ini terjadi karena kesalahan tiga orang yakni Ki Ageng sendiri yang mengajak istrinya, istri ki Ageng yang tidak menuruti suaminya dan perampok yang berniat jahat menguasai harta orang lain. Oleh Ki Ageng tempat kejadian perkara (tkp) tersebut diberi nama ‘Salah telu’ atau “salah tiga” yang mengandung pelajaran bagi generasi mendatang. Namun sekarang malah diplesetkan, misal ada orang bertanya ‘darimana asalnya?’ dijawab ‘dari salatiga’ kadang akan dikomentari ‘wah dapet nilai tujuh dong, salahnya Cuma tiga’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar