Salatiga, kampung halaman, adalah titik
nol. Segalanya berawal dari sini. Dari lahir sampe SMA ane tinggal di
sini. Kota yang damai, sejuk, kecil tapi lengkap, di bawah naungan
‘Meru’ (gunung) dan ‘Babu’ (wanita) alias Merbabu setinggi 3
ribu meter sekian di atas permukaan laut.
|
Merbabu dari Salatiga 2011 |
Hanya memiliki 4 kecamatan, kecil tapi
begitu istimewa. Kota ini istimewa sejak zaman Belanda dan bahkan
jauh sebelum itu.Dikisahkan di sebuah prasasti bernama “Plumpungan”
terletak di desa Plompongan, dulu kala pada zaman Mataram Hindu tahun
750 Masehi, kerajaan mencari kawasan pemukiman yang baru.
Ditemukanlah daerah dibawah gunung dan dikelilingi
gunung-kecil, tetapi tidak terdapat sungai besar yang cocok untuk
perdagangan, dan lahan datar yang luas untuk pertanian. Maka
ditetapkanlah wilayah baru tersebut untuk untuk kepentingan agama.
Wilayah perdikan sebagai tempat pendidikan untuk menjadi seorang
Bhiksuka atau Brahmana
dilakukan di wilayah ini.
|
prasasti plumpungan |
Berdasarkan prasasti
tersebut hari jadi Kota Salatiga dibakukan tanggal 24
Juli Tahun 750
Masehi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota
Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga maka
Salatiga sudah berumur seribut tahun lebih. Sudah sejak 750 Masehi,
berdasarkan prasasti tersebut wilayah Salatiga menjadi wilayah desa
Perdikan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan upeti
kepada kerajaan, karena jasanya kepada kerajaan. Pada jaman Belanda
Salatiga adalah bekas stadsgemeente
atau kota praja yang memiliki pemerintahan dan administrasi sendiri.
|
Alun-alun tempoe doeleo |
Setelah kemerdekaan Salatiga berada di
bawah naungan Kabupaten Semarang. Setelah itu menjadi Kodya sendiri
dan sekarang bernama “kota Salatiga”. Julukannya “Salatiga Hati
Beriman”<< julukan atau slogan kota dan kabupaten seluruh
Indonesia era Orde Baru, seperti Kabupaten Semarang ‘Serasi’ ;
Boyolali ‘Tersenyum’. Penamaan Salatiga sendiri berasal dari Ki
Ageng Pandanaran yang suatu ketika beliau melewati wilayah ini
bersama istrinya. Sebelum berangkat, ki Ageng melarang istrinya
membawa perhiasan tetapi istrinya diam-diam membawanya. Di tengah
jalan, beliau dan istrinya dihadang perampok dan perhiasan yang
dibawa istri ki Ageng terburai. Ki Ageng yang marah dan mengalahkan
perampok.
|
Merbabu tempeo doeloe |
Musibah ini terjadi karena kesalahan
tiga orang yakni Ki Ageng sendiri yang mengajak istrinya, istri ki
Ageng yang tidak menuruti suaminya dan perampok yang berniat jahat
menguasai harta orang lain. Oleh Ki Ageng tempat kejadian perkara
(tkp) tersebut diberi nama ‘Salah telu’ atau “salah tiga”
yang mengandung pelajaran bagi generasi mendatang. Namun sekarang
malah diplesetkan, misal ada orang bertanya ‘darimana asalnya?’
dijawab ‘dari salatiga’ kadang akan dikomentari ‘wah dapet
nilai tujuh dong, salahnya Cuma tiga’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar